Sabtu, 30 Juni 2012

Sejarah Bank Indonesia



1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Perbankan Periode 1953 - 1959

    Saat kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950, struktur perekonomian Indonesia, masih didominasi oleh struktur kolonial. Meskipun saat itu struktur perbankan Indonesia boleh dikatakan merupakan komponen sarana moneter yang tidak banyak berperan
dalam operasi perbankan, tetapi kondisi semacam ini menimbulkan keinginan kuat masyarakat untuk memasukkan lebih banyak unsur nasional dalam struktur ekonomi Indonesia. 
   Bank Indonesia lahir setelah berlakunya Undang-Undang (UU) Pokok Bank Indonesia pada 1 Juli 1953. Sesuai dengan UU tersebut, BI sebagai bank sentral bertugas untuk mengawasi bank-bank. Namun demikian, aturan pelaksanaan ketentuan pengawasan tersebut baru ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 1/1955 yang menyatakan bahwa BI, atas nama Dewan Moneter, melakukan pengawasan
bank terhadap semua bank yang beroperasi di Indonesia, guna kepentingan solvabilitas dan likuiditas badan-badan kredit tersebut dan pemberian kredit secara sehat yang berdasarkan asas-asas kebijakan bank yang tepat. Dari pengawasan dan pemeriksaan BI, terungkap berbagai praktik yang tidak wajar yang dilakukan, seperti penyetoran modal fiktif atau bahkan praktik bank dalam bank. Untuk mengatasi
kondisi perbankan itu, dikeluarkan Keputusan Dewan Moneter No. 25/1957 yang melarang bank-bank untuk melakukan kegiatan di luar kegiatan perbankan. 
   Pada November 1957, diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan (MUNAP) yang antara lain memutuskan pengambilalihan perusahaan-perusahaan milik Belanda, termasuk bank. Langkah awal untuk nasionalisasi bank-bank Belanda diprakarsai oleh KSAD selaku penguasa militer yang menetapkan bahwa pengawasan atas penyelenggaraan bank-bank Belanda dipercayakan kepada Badan Pengawasan BankBank Belanda Pusat. Badan pengawasan tersebut didirikan pada setiap daerah yang terdapat bank cabang milik Belanda dengan nama Badan Pengawasan Bank-Bank Daerah dengan tujuan mencegah berlangsungnya run pada bank-bank Belanda sehubungan dengan tindakan nasionalisasi yang dilakukan pemerintah. Pengawasan
terhadap bank-bank Belanda dilakukan secara langsung dengan cara menempatkan tim pengawas pada setiap bank. Peranan Bank Indonesia dalam pengawasan ini sangat penting karena hanya Bank Indonesia yang memiliki personel yang menguasai teknik pengawasan dan pemeriksaan bank.
    Kebijakan pemerintah untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda ditetapkan dalam UU No. 86/1958 yang berlaku surut hingga 3 Desember 1957. Nasionalisasi bank-bank Belanda yang merupakan bank devisa dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian agar tidak terjadi kerugian cadangan devisa negara. Untuk itu, Badan Pengawas Bank Pusat mempertahankan direksi lama bank yang diawasi. Beberapa bank Belanda yang dinasionalisasi pada saat itu adalah Nationale Handelsbank yang pada 1959 menjadi Bank Umum Negara (BUNEG), Escomptobank pada 1960 diubah menjadi Bank Dagang Negara (BDN), dan Nederlandsch Handel Maatschappij N.V. (Factorij) yang pada 1957 digabungkan ke dalam Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) yang merupakan hasil peleburan Bank Rakyat Indonesia (BRI) dengan Bank Tani dan Nelayan (BTN). Jika bank-bank milik Belanda dinasionalisasi oleh pemerintah, maka lain halnya dengan bank-bank asing yang bukan milik Belanda. Dengan prinsip berdikari dan semangat nasionalisme yang terus menggelora, pada masa 1950-an pemerintah menyatakan penutupan beberapa bank asing (bukan Belanda), yaitu Overseas Chinese Banking Corporation, Bank of China, serta Hong Kong and Shanghai Banking Corp. berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 2/1959.

2. Sistem & Perkembangan Perbankan Indonesia s.d. Tahun 1959

    Perbankan Indonesia telah memiliki rangkaian sejarah yang cukup panjang. Sejak masa pemerintahan kolonial, telah banyak berdiri bank-bank asing baik dari negara Belanda maupun negara asing lainnya serta beberapa bank lokal. Bahkan pada masa pergerakan nasional juga muncul beberapa bank yang bernuansa semangat nasional. Memasuki masa kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia mulai mendirikan bank-bank pemerintah seperti Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Industri Negara (BIN), dan Bank Tabungan Pos. Selain bank-bank pemerintah, pada masa itu juga telah beroperasi beberapa bank swasta nasional, bank-bank asing (termasuk DJB), lumbung desa, bank desa, dan yayasan kredit. Seluruh bank tersebut, baik bank pemerintah maupun swasta, terus berkembang hingga masa-masa selanjutnya. Berdirinya Bank Indonesia pada 1 Juli 1953 telah membuka fase baru dalam tata perbankan Indonesia, khususnya dalam hal pengawasan bank. Sebelum berdirinya BI pada tahun 1953, belum ada lembaga yang melakukan fungsi pengawasan bank. Hingga kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1/1955, ditetapkan Bank Indonesia atas nama Dewan Moneter melaksanakan pengawasan terhadap semua bank umum dan bank tabungan yang beroperasi di Indonesia. 
    Kebutuhan akan lembaga keuangan yang bertindak sebagai lembaga intermediasi antara surplus unit dan defisit unit tidak dapat dilepaskan dari kehidupan suatu perekonomian. Lembaga ini terbagi atas dua jenis utama yaitu bank dan non-bank.Berbicara masalah bank/perbankan, bahasan kali ini akan mengupas tentang perkembangan perbankan di Indonesia hingga tahun 1959. Selain itu, yang juga penting adalah ulasan mengenai ketentuan dalam hal pengawasan bank. Bagaimanakah kisah selengkapnya? Anda dapat ikuti dalam artikel Sistem dan Perkembangan Perbankan Indonesia s.d. Tahun 1959 ini yang akan dibagi ke dalam 2 episode.
    Sistem perbankan pada hakekatnya merupakan bagian dari sistem keuangan yang mempunyai cakupan luas yaitu lembaga keuangan sebagai lembaga intermediasi, instrumen keuangan seperti saham, obligasi, surat berharga pasar uang, treasury note, dan pasar sebagai tempat perdagangan instrumen keuangan seperti bursa
saham dan pasar uang antar bank. Lembaga keuangan memberikan jasa intermediasi berupa jembatan antara surplus unit dengan defisit unit dalam ekonomi, dan semua bank termasuk golongan ini. 
    Secondary financial intermediation, adalah lembaga keuangan yang memanfaatkan dana pinjaman dari lembaga keuangan lain, yang termasuk ke dalam kategori ini adalah lembaga keuangan bukan bank.  Jelaslah, bahwa lembaga keuangan terdiri atas bank, lembaga keuangan bukan bank, (di antaranya lembaga pembiayaan pembangunan, lembaga perantara penerbitan dan perdagangan surat-surat berharga) dan lembaga keuangan jenis lain, seperti asuransi, dana pensiun, modal ventura, dan leasing. Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia Di dalam kiprahnya, bank dapat ditinjau dari sisi fungsi dan dari sisi kepemilikan. Dari sisi fungsi bank dikategorikan sebagai bank umum, bank tabungan, bank
pembangunan, dan bank sekunder. 
    Fungsi sebuah bank umum antara lain menyediakan fasilitas penyimpanan dana masyarakat dalam bentuk giro, tabungan, maupun deposito dan dapat dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Di samping itu, bank mampu menciptakan uang giral dan uang kuasi melalui proses pelipatgandaan simpanan uang yang sebagian besar diterima dari masyarakat untuk disampaikan kembali pada masyarakat. Selain itu bank bertugas menyiapkan mekanisme pembayaran atau transfer dana yang dapat meminimalkan biaya dan kendala serta menyediakan pinjaman yang manfaatnya besar bagi peningkatan produksi, perluasan penanaman modal, dan penaikan standar hidup. 
Bank tabungan, sesuai dengan namanya, mengutamakan penerimaan simpanan dalam bentuk tabungan dengan prioritas usaha pembungaan dalam bentuk kertas berharga. Adapun bank pembangunan mengumpulkan dananya melalui simpanan deposito serta mengeluarkan kertas berharga yang berjangka, dan menjalankan usahanya dengan memberi kredit jangka panjang.  Bank sekunder memiliki kegiatan bersifat lokal, menerima simpanan serta memberi kredit kepada para pedagang pasar dan penduduk desa sekitarnya. Termasuk jenis ini adalah bank desa, lumbung desa, bank pasar, dan bank pegawai. Jenis bank ini
disebut Bank Rural yang tidak diijinkan menerima simpanan giro. Apabila ditinjau dari segi kepemilikan, bank terbagi dalam kategori: bank pemerintah yang kepemilikan seluruh modalnya dari pemerintah, dan menjadi kekayaan atau aset pemerintah yang terpisah; Bank Pemerintah Daerah, yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki Pemerintah Daerah (Pemda) dan menjadi kekayaan Pemda yang terpisah; bank swasta nasional dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum dengan pimpinan dan anggota yang
berkewarganegaraan Indonesia; bank asing sebagai cabang bank di luar negeri atau bank campuran (joint venture) antara pihak luar negeri dan pihak swasta Indonesia. Patut diketahui, bahwa tidak semua bank diperbolehkan melakukan transaksi dengan pihak luar negeri, kecuali bank yang diberi ijin dan biasanya disebut bank devisa. Berbicara mengenai perkembangan perbankan di Indonesia, tidak bisa lepas dari sejarah jaman Hindia Belanda yaitu bank yang pertama didirikan adalah Bank Van Leening tahun 1746, Nederlandsche Handel Maatschapij berdiri tahun 1824, kemudian didirikan De Javasche Bank tahun 1828, Escomptobank tahun 1857 dan Nederlandsche Indische Handelsbank tahun 1864. Di samping bank Belanda, juga berdiri bank asing lain seperti, The Chartered Bank of India, Australia and China tahun 1859, Hongkong and Shanghai Banking Corporation di tahun 1884, Bank of China tahun 1915, Yokohama Specie Bank tahun 1919, kemudian Mitsui Bank 1925.
    Bank-bank lokal ikut bermunculan, seperti Bank Vereeniging Oey Tiong Ham tahun 1906 di Semarang, Chung Hwa Shangieh Maatschapij tahun 1913 di Medan, Batavia Bank tahun 1918 di Batavia dan Spaarbank atau Bank Tabungan di berbagai kota. Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia Bangkitnya semangat kebangsaan turut memunculkan bank-bank nasional yang dimulai oleh Bank Nasional Indonesia pada tahun 1928 di Surabaya.  Bank-bank pemerintah yang didirikan setelah era tersebut antara lain Bank Negara Indonesia tahun 1946, Bank Rakyat Indonesia yang juga didirikan tahun 1946, Bank Tabungan Pos yang merupakan kelanjutan kegiatannya di jaman penjajahan diaktifkan kembali tahun 1950, kemudian didirikan Bank Industri Negara tahun 1955, serta Bank Tani dan Nelayan di tahun 1957.
    Sejarah bank di Indonesia makin lengkap dengan dinasionalisasikannya beberapa bank Belanda di tahun 1959 hingga 1960 seperti: Nationale Handels Bank NV yang berubah menjadi Bank Umum Negara, Escomptobank berubah nama menjadi Bank Dagang Negara dan Nederlandsche Handels Maatschappij menjadi Bank Ekspor Impor Indonesia. Kegiatan berbagai bank sebelum diberlakukan Undang-undang Pokok Bank Indonesia No.11/1953 sangat beragam. Bank-bank pemerintah umumnya masih berbenah diri,
misalnya BNI pada periode ini masih aktif membantu para pengusaha pendatang baru melalui sistem importir benteng melalui fasilitas devisa, kredit bank dan subsidi pemerintah. Bank Rakyat Indonesia gencar mendorong pertumbuhan bank desa, dari 1769 buah di tahun 1951 menjadi 4640 buah tahun 1954. Pada periode yang sama, Bank Industri Negara berhasil meningkatkan pemberian pinjaman dari Rp130 juta,- menjadi Rp 426 juta,- terutama untuk industri gula. Setelah aktif kembali Bank Tabungan Pos memberi pinjaman pada pemerintah daerah untuk pembiayaan pembangunan pasar, penyaluran tenaga listrik, dan pembangunan stasiun bis. Bankbank asing masih terlihat dominan memberi kredit pada debitur asing hingga
sebesar 78 % dan hanya porsi kecil yang didapat debitur nasional.  Di samping bank, terdapat satu yayasan yang didirikan tahun 1950 dan berperan memberi jaminan terhadap nasabah bank yang meski potensial tetapi tidak memenuhi standar kelayakan dari bank. Yayasan Pemusatan Jaminan Kredit Rakyat ini kemudian melakukan efisiensi kinerja di tahun 1956 dan berganti nama dengan Yayasan Lembaga Jaminan Kredit. Pada akhir tahun 1951, dengan perantaraan yayasan, kredit yang disediakan untuk 44 nasabah dengan nilai Rp2,7 juta,- dan perusahan-perusahaan ekspor, impor dan pengangkutan untuk 26 nasabah nilai
pinjaman Rp4,7 juta,-. Perkembangan kegiatan Perbankan setelah Undang-undang No.11 tahun 1953, semakin dinamis misalnya. Bank BNI berhasil mencatat kenaikan kredit rata-rata 62% pertahun, dari Rp160 juta,- ditahun 1955 mencapai Rp380 juta tahun 1959, bahkan ikut mendirikan badan usaha seperti Maskapai Asuransi Indonesia, perusahaan pelayaran Jakarta Loyd.  Di samping itu BRI juga mampu meningkatkan kredit 18% sepanjang tahun 1958 dan 24% tahun 1959 melalui 118 kantor cabangnya. 
Bank Industri Negara mampu meningkatkan gironya 31% per tahun, yaitu dari Rp340 juta tahun 1956 menjadi Rp 552 juta pada tahun 1958, sementara itu kreditnya naik 62% pertahun, dari Rp515 juta tahun 1955 menjadi Rp 1.844 juta di tahun 1959. Dalam rangka menambah modal bank, telah diterbitkan obligasi, yang selain dijual melalui bursa efek Jakarta juga berhasil diperdagangkan melalui bursa efek Belanda. 
Bank Koperasi, Tani dan Nelayan memfokuskan kegiatannya membantu petani, buruh tani dan nelayan agar terlepas dari jeratan lintah darat dan mampu mengembangkan usahanya.  Bank Tabungan Pos dana tabungan yang dipelihara meningkat dari Rp214 juta pada tahun 1955 menjadi Rp489 juta di tahun 1959, kemudian ditanamkan dalam bentuk obligasi pemerintah, bilyet perbendaharaan negara.  Bank swasta nasional mampu meningkatkan pemberian kredit kepada nasabahnya, dari Rp 529,2 juta tahun 1955 naik menjadi Rp1.481,3 juta tahun 1959 atau naik sebanyak 280%. 
Bank-bank asing yang mendominasi pemberian kredit kepada perusahaanperusahaan asing, perannya makin menurun karena terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda disamping itu perusahaan Belanda dinasionalisasi. Sistem pengawasan perbankan Indonesia mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, di jaman Hindia Belanda, sistem pengawasan belum terbentuk. De Javasche Bank, sebagai bank sirkulasi waktu itu, tugasnya hanya sampai tingkat analisis dari laporan berkala bank-bank yang diserahkan secara sukarela. Setelah dinasionalisasi tahun 1951, kondisi ini masih sama, karena yang berubah hanya kepemilikannya saja, dan tidak tugasnya. Mengingat aktivitas bank sebagai penghimpun dana masyarakat, maka patut mendapat pengawasan ketat. Pengawasan dilakukan berdasarkan UU No 11/1953 mulai dari pemberian sampai dengan pencabutan ijin. Wewenang dalam pengawasan terhadap bank meliputi berbagai tahap yaitu Pertama adalah masalah perizinan, diteliti dan diperiksa apakah bank tersebut sudah memiliki ijin operasi, sebelum melakukan segala aktifitasnya. Selanjutnya, diterapkan aturan-aturan yang ketat agar pengoperasian bank terbebas dari penyimpangan kebijakan yang merugikan nasabah., tahap selanjutnya adalah Pengawasan dilakukan baik secara langsung maupun melalui laporan berkala secara cermat guna mencegah penyelewengan dan terakhir adalah pengenaan sanksi yang bergantung pada tingkat penyimpangan termasuk pencabutan ijin bila terbukti terjadi pelanggaran berat.  Pengawasan yang efektif dalam bentuk ketetentuan pelaksanaan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No.1 tahun 1955, yang didasarkan pada Undang-undang No.11/1953. Tidaklah mengherankan, bila UU No.11/1953 dan PP No.1/1955 sering disebut tonggak sejarah perkembangan pengawasan perbankan di Indonesia. Dikemudian hari kedua peraturan ini kelak disempurnakan melalui UU No.14/1967 dan UU No.7/1992. Dua hal yang menonjol dalam sejarah dan perkembangan perbankan Indonesia hingga 1959 adalah dimulainya sistem pengawasan bank tahun 1955 dan menurunnya peran bank-bank asing dalam pembiayaan sektor swasta. Sehingga bank-bank nasional semakin giat berkiprah dalam pembangunan ekonomi nasional.
Perkembangan perbankan memberikan warna dalam kancah perekonomian Indonesia. Perjalanan perbankan nasional setelah nasionalisasi bank-bank asing dikukuhkan dengan dikeluarkannya Undang-undang Pokok Bank Indonesia No. 11 tahun 1953. Setelah itu, ketentuan tersebut dilengkapi dengan PP No. 1 tahun 1955 yang juga sama-sama merupakan tonggak sejarah perkembangan pengawasan perbankan di Indonesia.

3. Nasionalisasi Bank-Bank Belanda

    Setelah tujuh tahun berlalu, akhirnya Indonesia menyatakan pembatalan secara sepihak atas hubungan Indonesia-Nederland dalam perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949. Pada saat yang sama, kondisi perpolitikan tanah air sedang bergejolak karena ketidakserasian hubungan antara pusat dengan daerah. Keadaan tersebut menjadi alasan bagi Presiden Soekarno untuk menyatakan negara dalam keadaan bahaya perang bagi seluruh wilayah Republik Indonesia pada Maret 1957. Sebagai upaya penyelesaian politik antara pusat dan daerah, diadakanlah Musyawarah Nasional Pembangunan (MUNAP). Musyawarah tersebut di antaranya menetapkan pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda yang bergerak dalam bidang ekonomi, termasuk bank-bank Belanda. Hingga tahun 1957, terdapat tiga bank milik Belanda yang masih beroperasi di Indonesia, yaitu Nationale Handelsbank, Escomptobank, dan Nederlandsch Handel Maatschappij (NHM). Setelah diambil alih, ketiga bank tersebut kemudian dinasionalisasi dan dilebur ke dalam bank-bank baru yang telah dibentuk oleh pemerintah RI. Meskipun nasionalisasi telah dilakukan dengan penuh kehati-hatian, tetapi hal ini masih menimbulkan akibat negatif bagi kegiatan perbankan. Hal tersebut terutama terlihat dari jumlah kredit bank-bank asing yang terus menyusut pada periode pasca pengambilalihan.
    Bangsa Indonesia mulai diperkenalkan dengan lembaga perbankan sejak berdirinya De Bank van Leening oleh bangsa Belanda. Kemudian setelah itu bermunculanlah bank-bank asing seiring dengan perkembangan perekonomian di Nusantara ini. Meruaknya pertempuran di antara Belanda dengan Indonesia akibat kolonialisme Belanda menimbulkan rasa kebencian di diri bangsa Indonesia. Meskipun beberapa kali dilakukan usaha damai di antara kedua belah pihak, namun setiap kali pula Belanda mengingkarinya. Sisa-sisa perasaan tidak suka terhadap Belanda yang masih membakar dada bangsa Indonesia, membuat semangat nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan Belanda semakin meluap, sehingga terjadi pengambilalihan atas perusahaan-perusahaan Belanda tersebut, termasuk juga menasionalisasi bankbank Belanda. Untuk itu, dikeluarkanlah Undang-Undang No. 86 tahun 1958 yang berlaku surut s.d. 3 Desember 1957 untuk melegalisasi kegiatan nasionalisasi perusahaan Belanda.Kehadiran bank-bank di Nusantara,
ditandai dengan berdirinya De Bank van Leening, pada tanggal 20 Agustus 1746. Namun pada perjalanannya, De Bank van Leening tidak dapat beroperasi dengan baik, kemudian dilebur ke dalam De Bankcourant yang didirikan pada tanggal 1 September 1752 dan namanya berubah menjadi De Bankcourant en Bank van Leening pada tanggal 5 September 1752. Tapi De Bankcourant en Bank van Leeningjuga tidak dapat beroperasi dengan baik dan akhirnya ditutup karena bangkrut.
    De Javasche Bank yang didirikan pada tahun 1828, merupakan bank Belanda yang berhasil berkembang dan merupakan cikal bakal bank sentral Indondesia di kemudian hari. Bank Belanda lainnya seperti Nederlandsch Indische Escompto Maatschapij, Nederlandsch Indische Handelsbank, dan Nederlandsche Handel Maatschapij mulai beroperasi berturut-turut pada tahun 1857, 1864, dan 1883. 
    Seiring dengan perkembangan perekonomian Nusantara, beberapa bank asing lainnya mulai pula melakukan operasinya, yaitu sebagai berikut:
1. The Chartered Bank of India, Australia and China, Batavia tahun 1862 
2. Hongkong and Shanghai Banking Corporation, Batavia tahun 1884
3. Yokohama-Specie Bank, Batavia tahun 1919
4. Taiwan Bank, tahun 1915, Batavia, Semarang, dan Surabaya
5. China and Southern Ltd., Batavia tahun 1920
6. Mitsui Bank, Surabaya tahun 1925
7. Overseas China Banking Corporation, Batavia tahun 1932
    Pada masa kolonial, terjadi pasang surut jumlah bank. Menjelang pecahnya Perang Dunia II, Pemerintah Hindia Belanda melikuidasi tiga bank Jepang yang beroperasi saat itu. Dan pada saat Jepang berkuasa atas Asia Pasifik, bank-bank Belanda, Inggris, dan termasuk beberapa bank Cina dilikuidasi oleh Jepang. Kembalinya Bank Belanda di Indonesia pasca Kemerdekaan 1945, berawal dari kemenangan Sekutu atas Jepang di Asia Pasifik. Belanda yang hadir di Indonesia bersamaan dengan kedatangan sekutu, melucuti senjata tentara Jepang, kemudian berusaha untuk kembali menduduki Indonesia. Izin pembukaan bank Belanda di wilayah Indonesia dikeluarkan pada tanggal 2 Januari 1946 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Bank-bank Belanda pun kembali beroperasi di beberapa wilayah Indonesia. Sementara itu, konflik bersenjata antara Indonesia dan Belanda kembali terjadi akibat pelanggaran Perjanjian Linggarjati oleh Belanda. Agresi Militer Belanda I tersebut berhasil diakhiri melalui perundingan Renville pada tanggal 17 Januari 1948. Namun,Belanda mengingkari hasil kesepakatan Perjanjian Renville tersebut dan kembali melakukan Agresi II. Konflik senjata antara Indonesia dengan Belanda baru benarbenar berhenti setelah Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi pada tanggal 28 Januari 1949. Resolusi tersebut menghimbau agar kedua belah pihak yang bertikai segera mengupayakan cara-cara damai untuk menyelesaikan konflik.
    Di penghujung tahun 1949, perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag Belanda, menghasilkan pembentukan negara Republik Indonesia Serikat yang mencakup seluruh wilayah Indonesia, kecuali wilayah Irian Barat yang akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.  Sampai akhirnya, pihak Republik Indonesia membubarkan RIS pada tahun 1950, masalah pengembalian Irian Barat, tidak kunjung terealisasi, sehingga perasaan anti Belanda yang memang telah ada di benak masyarakat, semakin besar karenanya. Pemerintah pun akhirnya secara resmi menyatakan pembatalan perjanjian KMB.
Pada waktu yang bersamaan, situasi dalam negeri semakin memanas dan tidak menentu akibat pertikaian antara pemerintah pusat dan daerah. Masalah perimbangan kekuasaan serta pembangunan dan keuangan, menjadi topik utama pertentangan. Untuk mengakhiri gejolak keamanan nasional, pada bulan Maret 1957,
berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 74 tahun 1957 tentang Negara dalam Keadaan Bahaya atau SOB (Staat van Oorlog en Beleg), Presiden Soekarno menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia dalam keadaan bahaya. Presiden Soekarno juga memberikan kekuasaan penuh kepada Panglima Angkatan Darat untuk mengamankan seluruh wilayah Indonesia. Guna menentukan langkah-langkah konkrit dalam perbaikan hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah, serta percepatan perekonomian, maka diselenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan (MUNAP). Sesuai dengan tuntutan masyarakat, MUNAP merekomendasikan perusahaan-perusahaan Belanda, termasuk tiga bank Belanda di antara tujuh bank asing yang beroperasi saat itu, untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kepentingan negara dan masyarakat.
Namun, perasaan anti Belanda yang masih membara, membuat semangat nasionalisasi masyarakat tidak terkendali, sehingga belum sempat pemerintah mengambil langkah-langkah resmi dalam rangka nasionalisasi perusahaan Belanda, di beberapa tempat dan kesempatan, serikat buruh telah berhasil mengambil alih beberapa perusahaan Belanda. Untuk menghindari terjadinya nasionalisasi yang tidak terkendali pada bank-bank Belanda serta memastikan agar roda perekonomian tetap berjalan, Bank Indonesia berinisiatif untuk mendatangi Markas Besar Angkatan Darat, guna membahas dan merumuskan langkahlangkah pengamanan,pengambilalihan, serta pengawasan bank Belanda.
    Dengan memperhatikan aspek-aspek hukum, kemungkinan terjadinya bank rush, sabotase, kepentingan para kreditur, masalah pemberian ganti rugi, pengamanan devisa negara, serta kelangsungan operasi bank-bank Belanda tersebut, akhirnya rumusan mengenai pengawasan bank-bank Belanda dan pembentukan Badan Pengawasan Bank-Bank (BPBB) Pusat yang terdiri atas wakil Angkatan Darat, Bank
Indonesia, dan Departemen Keuangan, berhasil disahkan malam itu juga melalui pengumuman Menteri Keuangan dan Surat Keputusan KSAD No. Kpts/MP/080/1957 tanggal 8 Desember 1957. BPBB Pusat dan BPBB Daerah kemudian menempatkan tim pengawas bank-bank pusat dan daerah guna memastikan kegiatan operasi bank-bank Belanda tetap berjalan aman dan normal sesuai dengan tujuan nasionalisasi. Langkah-langkah nasionalisasi perusahaan-perusahaan dan bank-bank Belanda kemudian dilanjutkan dengan keluarnya Peraturan Penguasa Perang No. Prt/Peperpu/05/1958 tanggal 5 Maret 1958 yang mewajibkan semua bank Belanda untuk tetap meneruskan kredit yang telah disepakati dengan nasabahnya, serta pemberian jaminan kepada perusahaan Belanda untuk tetap dapat bertransaksi melalui bank Belanda.
Seiring dengan berakhirnya masa berlaku undang-undang keadaan bahaya, dibuatlah dasar hukum baru sehubungan dengan pengawasan bank-bank Belanda. Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 tahun 1956, menempatkan secara wajar peranan pemerintah dan angkatan darat dalam penguasaan dan pengawasan bank-bank Belanda. Sejak saat itu, Menteri Keuangan bertanggung jawab atas pengawasan bank-bank Belanda. Untuk menjaga legalitas kegiatan nasionalisasi perusahaan Belanda, pemerintah kemudiamengeluarkan UU No. 86 tahun 1958, yang berlaku surut hingga tanggal 3 Desember 1957.  Kegiatan nasionalisasi bank-bank Belanda dimulai dengan penghentian segala kegiatan lalu lintas luar negeri Nationale Handelsbank N.V. (NHB). Terhitung sejak tanggal 3 November 1958, NHB tidak diperkenankan untuk membuat transaksi baru. NHB hanya diperkenankan untuk melanjutkan proses transaksi luar negeri yang sebelumnya telah atau masih dijalankan sebelum tanggal 5 November 1958. NHB mewajibkan bank koresponden di luar negeri untuk memindahbukukan semua valuta asing atas namanya kepada rekening Dana Devisen milik negara. Manajemen NHB diserahkan kepada BPBB Pusat pada tanggal 20 April 1959, dan kemudian dinasionalisasi pada tanggal 10 Agustus 1959. Seluruh aset NHB kemudian dialihkan kepada Bank Umum Negara. Anggaran Dasar Escomptobank diubah melalui Rapat Umum Pemegang Saham yang
dilaksanakan tanggal 18 November 1958. Dewan komisaris dan direksi PT Escomptobank di Jakarta, yang semuanya Warga Negara Indonesia asli, diberi kekuasaan lebih banyak atas dewan pengawas/pemimpin cabang dari kantor-kantor Escomptobank di luar negeri. Saham-saham PT Escomptobank yang telah
dikeluarkan atas unjuk, harus diubah menjadi atas nama.

PT Escomptobank tidak diperkenankan lagi melakukan lalu lintas pembayaran luar negeri, terhitung mulai tanggal 8 Februari 1960. PT Escomptobank kemudian dinasionalisasi pada tanggal 1 April 1960. Sepuluh hari kemudian, PT Escomptobank, dilikuidasi pemerintah. Segala hak, kekuasaan, utang dan kewajibannya dialihkan kepada Bank Dagang Negara (BDN). Kepengurusan Nederlandsche Handel Maatschapij N.V. (NHM) di Indonesia diambil alih oleh BPBB Pusat pada tanggal 21 November 1960 berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan No. 246037/B.U.M. II tertanggal 8 November 1960. Selanjutnya, NHM dinasionalisasi pada tanggal 29 November 1960. Segala hak dan kewajiban, aset, serta usaha NHM di Indonesia dialihkan kepada Bank Koperasi, Tani dan Nelayan (BKTN), yang pelaksanaan administrasinya dilaksanakan secara terpisah dengan nama BKTN urusan ekspor impor terhitung tanggal 5 Desember 1960. Kebijakan politik luar negeri dan dalam negeri, serta kegiatan nasionalisasi perusahaan Belanda yang dilakukan oleh pemerintah, mengakibatkan para nasabah bank asing menutup rekening banknya dan pulang ke negeri asalnya. Sejumlah warga dan perusahaan asing mengalihkan kegiatan perbankan mereka melalui Bank Negara Indonesia (BNI). Akibatnya, jumlah kredit yang dikucurkan oleh bank-bank asing menyusut drastis. Pengucuran kredit pembangunan dan perdagangan akhirnya diambil alih oleh bank-bank nasional. Gerakan Nasionalisasi Bank-Bank Belanda, yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, merupakan awal dari eksistensi bankbank nasional dalam kancah perbankan Indonesia.  Demikianlah, rasa nasionalisme yang tinggi di dalam dada bangsa Indonesia memotivasi bangsa Indonesia untuk melakukan nasionalisasi atas perusahaanperusahaan asing, terutama yang dikuasai Belanda, termasuk juga lembaga perbankan. Proses nasionalisasi bank-bank Belanda dimulai dari Nationale Handelsbank N.V., yang kemudian dilanjutkan dengan Escomptobank dan Nederlandsche Handel Maatschapij N.V. Gerakan nasionalisasi ini adalah awal dari lahirnya bank-bank nasional di dunia perbankan Indonesia. Jayalah terus perbankan Indonesia!
 
 4. Arah Kebijakan 1953-1959

    Periode ini merupakan cikal bakal pengawasan bank oleh Bank Indonesia. Sebagaimana telah dinyatakan dalam Undang-Undang No.11 tahun 1953 tentang Pokok-pokok Bank Indonesia, arah pengawasan bank oleh Bank Indonesia adalah untuk memastikan solvabilitas dan likuiditas bank. Periode ini merupakan cikal bakal pengawasan bank oleh Bank Indonesia. Sebagaimana telah dinyatakan dalam Undang-Undang No.11 tahun 1953 tentang Pokok-pokok Bank Indonesia, arah pengawasan bank oleh Bank Indonesia adalah untuk memastikan solvabilitas dan likuiditas bank. Akan tetapi pada awal periode ini, Bank Indonesia baru dapat mengawalinya dengan melakukan pengawasan langsung terhadap perkreditan bank, terutama untuk memastikan kepatuhan bank terhadap larangan pemberian kredit kepada sektor ekonomi tertentu serta memastikan diterapkannya prinsip-prinsip pemberian kredit yang sehat.  Dalam perkembangannya kemudian, berbagai kegiatan dan peristiwa ikut mempengaruhi dimensi pengawasan bank. Salah satu contohnya adalah dilakukannya nasionalisasi bank-bank milik Belanda yang kemudian diikuti dengan
berbagai kegiatan seperti pembenahan aspek-aspek hukum untuk disesuaikan dengan hukum yang berlaku di Indonesia dan pengalihan aktiva dan pasiva (pembenahan administratif) bank-bank yang bersangkutan. Untuk itu didirikan Bank Umum Negara (BUNEG) menjelang akhir tahun 1959 untuk menampung seluruh
aktiva pasiva serta mengambil alih usaha Nationale Handelsbank (NHB) yang telah dinasionalisasi pada tahun itu.  Dengan demikian terdapat 4 issue besar pada periode ini yang menentukan arah pengawasan bank. Issue pertama adalah pengendalian inflasi melalui pembatasan pertumbuhan kredit perbankan. Issue kedua adalah pemberian kredit perbankan yang efektif (sesuai azas-azas pemberian kredit yang sehat) sehingga bermanfaat bagi sektor-sektor ekonomi produktif. Issue ketiga adalah nasionalisasi bank-bank  eks Belanda yang orientasi bisnis dan acuan hukumnya harus disesuaikan dengan arah kebijakan perbankan dan hukum yang berlaku di Indonesia. Issue ke-4 adalah awal (pencarian bentuk) pengawasan likuiditas dan solvabilitas bank.
 
 5. Langkah-Langkah Strategis 1953-1959

    Setelah dikeluarkannya Undang-undang Pokok Bank Indonesia tahun 1953, Bank Indonesia sebagai lembaga yang sangat berkepentingan dengan lahirnya ketentuan tentang pengawasan bank telah melakukan penelitian dan pengkajian atas ketentuan serupa yang berlaku di berbagai negara, terutama negeri Belanda.
Setelah dikeluarkannya Undang-undang Pokok Bank Indonesia tahun 1953, Bank Indonesia sebagai lembaga yang sangat berkepentingan dengan lahirnya ketentuan tentang pengawasan bank telah melakukan penelitian dan pengkajian atas ketentuan serupa yang berlaku di berbagai negara, terutama negeri Belanda. Agar supaya jumlah bank-bank swasta tidak bertambah terus menerus dengan tidak diawasi, maka mulai tanggal 1 Januari 1955 dinyatakan berlakunya Peraturan Pemerintah No. 1, untuk mengatur pengawasan atas kredit di Indonesia. PP ini mengatur tentang pengawasan terhadap semua bank umum dan bank tabungan yang beroperasi di Indonesia oleh Bank Indonesia atas nama Dewan Moneter guna kepentingan
solvabiltas dan likuiditas bank-bank dan guna kepentingan pemberian kredit secara sehat dan berdasarkan asas-asas kebijaksanaan bank yang tepat. Setelah dikeluarkannya PP No.1 Tahun 1955, bank-bank swasta nasional yang telah ada dalam waktu tiga bulan wajib mengajukan permohonan izin usaha kepada Menteri Keuangan melalui Bank Indonesia. Bila syarat-syarat untuk memperoleh izin belum dipenuhi, maka Menteri Keuangan akan memberikan izin sementara. Menteri Keuangan memberikan izin tetap atas rekomendasi Bank Indonesia. Sejumlah bank masih belum mendapat izin karena persyaratan permodalan yang belum dapat mereka penuhi. Sehubungan dengan itu, Dewan Moneter memutuskan untuk memperpanjang waktu berlakunya izin sementara satu tahun lagi, dengan harapan agar supaya bank-bank yang sungguh-sungguh memperlihatkan manfaatnya bagi masyarakat mempunyai kesempatan untuk memenuhi modal yang disyaratkan. Pada tahun 1957 Bank Indonesia membentuk Bagian Pengawasan Urusan Kredit. Untuk mengisi SDM pengawas dan pemeriksa bank dilakukanlah pendidikan yang disebut bank examination course terhadap karyawan-karyawan dari Bank Indonesia sendiri maupun yang direkrut dari luar yang berlangsung selama satu tahun. Kursus ini menggunakan instruktur dari bank sentral Filipina karena sistem pengawasan
bank pada bank sentral Filipina lebih sesuai untuk diterapkan pada perbankan Indonesia. Tenaga pemeriksa bank tersebut telah mulai melakukan pemeriksaan langsung (on the spot) terhadap bank-bank baik yang telah menerima izin tetap maupun yang baru menerima izin sementara. Dari pemeriksaan tersebut ditemukan adanya penyetoran modal fiktif dari bank. Untuk mengatasi permasalahan modal fiktif ini Bank Indonesia kemudian menetapkan bahwa modal yang dipersyaratkan harus disetorkan kepada Bank Indonesia di Jakarta dan/atau cabang-cabangnya dan setoran tersebut diblokir sampai saat bank yang bersangkutan mendapat izin usaha dan memulai dengan usahanya. Disamping itu, bank-bank tersebut juga diminta untuk menyampaikan riwayat hidup dari anggota-anggota pengurusnya (direksi dan dewan komisaris) serta bukti-bukti pendukung lainnya.
    Dengan diberlakukannya ketentuan-ketentuan tersebut maka tindakan permulaan ke arah pengembangan perbankan yang sehat telah dimulai. Kepada bank-bank yang telah mendapat izin tetap tetapi ternyata melakukan usaha bank dengan menggunakan keterangan-keterangan yang tidak benar, diberikan peringatan
supaya dalam waktu tertentu memenuhi kewajibannya. Bila bank-bank tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka terhadap mereka akan dipertimbangkan untuk dicabut kembali izin usaha yang telah diberikan. Untuk menghadapi kenaikan jumlah uang beredar, Pemerintah melalui Dewan Moneter pada permulaan bulan Mei 1957 membatasi perkreditan bank-bank swasta dan Bank Indonesia ditunjuk sebagai pelaksananya. Selain itu, kebijakan Pemerintah untuk menerapkan reserves requirement terhadap perbankan merupakan awal dari kebijakan moneter dengan pengendalian uang beredar melalui pengendalian
penciptaan uang giral oleh perbankan. Pada saat bank-bank Belanda diambil alih dibawah kekuasaan Penguasa Militer tanggal 8 Desember 1957, pengawasan atas penyelenggaraan bank-bank Belanda dipercayakan kepada Badan Pengawasan Bank-Bank Pusat dimana Bank Indonesia menjadi Wakil Ketua merangkap Anggotanya. Pembentukan badan pengawas tersebut adalah untuk mencegah berlangsungnya rush pada bank-bank Belanda sehubungan dengan tindakan pengambilalihan tersebut serta untuk merumuskan aspek hukum langkah-langkah untuk menjaga kelangsungan kegiatan operasi bankbank yang bersangkutan. Peranan Bank Indonesia baik dalam perumusan kebijakan sebagai tindak lanjut dari
keputusan KSAD tersebut maupun dalam aspek pengawasan langsung terhadap bank-bank yang diawasi sangat diperlukan. Bank Indonesia pada waktu itu memiliki personel yang menguasai seluk beluk perbankan dan teknik pengawasan dan pemeriksaan bank.
 
 
 6. Otoritas Pengawasan 1953-1959

    Dalam undang-undang Pokok Bank Indonesia tahun 1953 ayat 4 dan 5 pasal 7 ditegaskan bahwa Bank Indonesia melakukan pengawasan urusan kredit. Sambil menunggu terlaksananya peraturan peraturan undang-undang tentang pengawasan urusan kredit maka dengan peraturan pemerintah dapat diadaikanperaturan lebih lanjut bagi Bank Indonesia untuk menjalankan pengawasan tersebut. Dalam undang-undang Pokok Bank Indonesia tahun 1953 ayat 4 dan 5 pasal 7 ditegaskan bahwa Bank Indonesia melakukan pengawasan urusan kredit. Sambil menunggu terlaksananya peraturan peraturan undang-undang tentang pengawasan urusan kredit maka dengan peraturan pemerintah dapat diadaikanperaturan lebih
lanjut bagi Bank Indonesia untuk menjalankan pengawasan tersebut. Pada 15 Januari 1955 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 1 untuk mengatur pengawasan kredit di Indonesia. Berdasarkan PP No. 1 tahun 1955 ditegaskan bahwa Bank Indonesia melakukan atas nama Dewan Moneter pengawasan terhadap badan-badan kredit (bank-bank umum dan bank-bank tabungan) yang ada atau yang akan didirikan diIndonesia guna kepentingan solvabilitas dan likuiditas bankbank guna kepentingan pemberian kredit secara sehat dan berdasarkan asas-asas kebijaksanaan bank yang tepat. Dalam rangka tugasnya ini Bank Indonesia berhak menetapkan peraturan-peraturan umum yang berlaku terhadap bank-bank mengenai jalannya perusahaan bank dan perkreditan, serta meminta dari bank-bank segala keterangan dan angka-angka yang dianggap perlu. PP No. 1 tahun 1955 mengamanatkan bahwa ketentuan didalamnya seluruhnya berlaku bagi semua bank di Indonesia, baik bank pemerintah, bank swasta nasional maupun bank asing. Namun dalam pelaksanaannya, khususnya megnenai ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan kelembagaan, yaitu tentang pendirian bank, pengawasan bank dilakukan dengan tetap membedakan aspek pemilikan seperti
sebelum keluarnya PP tsb, yaitu menurut kelompok bank pemerintah, bank swasta nasional, dan bank asing.
Dilakukannya nasionalisasi atas bank-bank milik Belanda mengakibatkan terjadinya peralihan pengawasannya. Pada tanggal 8 Desember 1957 dikeluarkan pengumuman Menteri Keuangan dan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Darat tentang rencana penempatan semua bank Belanda di bawah kekuasaan Penguasa Militer. Dengan surat keputusan tersebut, maka pengawasan atas penyelenggaraan bank-bank Belanda dipercayakan kepada Badan Pengawasan Bank-Bank Pusat yang anggotaanggotanya terdiri dari Koordinator Finans dan Ekonomi (Finek) Angkatan Darat/Staf Harian Penguasa Militer sebagai Ketua merangkap Anggota, wakil dari Bank Indonesia sebagai Wakil Ketua merangkap Anggota, dan wakil-wakil dari Kementrian Keuangan dan beberapa anggota Staf Harian Penguasa Militer sebagai anggota. Di tiap-tiap daerah tempat terdapat cabang bank milik Belanda, oleh Penguasa Daerah dibentuk Badan Pengawas Bank-Bank Daerah yang susunannya sedapat mungkin disesuaikan dengan susunan Pengawas Bank-Bank Pusat.  Pada tanggal 16 April 1958 dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1958 tentang penetapan semua bank Belanda di bawah penguasaan Pemerintah Republik Indonesia dan pembentukan Badan Pengawas Bank-Bank Belanda Pusat. PP ini merupakan pembaharuan atas keputusan-keputusan yang telah dikeluarkan sebelumnya. Atas dasar PP tersebut, Menteri Keuangan bertanggung jawab atas pengawasan bank-bank Belanda.
 
 7. Sasaran Strategis 1953-1959

    Sebagai pelaksana pengawas badan-badan kredit (bank-bank umum dan bank-bank tabungan) di Indonesia, Bank Indonesia telah mulai memberlakukan ketentuanketentuan ke arah pengembangan perbankan yang sehat. Sebagai pelaksana pengawas badan-badan kredit (bank-bank umum dan bank-bank
tabungan) di Indonesia, Bank Indonesia telah mulai memberlakukan ketentuanketentuan ke arah pengembangan perbankan yang sehat. Kepada bank-bank yang telah mendapat izin tetap tetapi ternyata melakukan usaha bank dengan menggunakan keterangan-keterangan yang tidak benar, diberikan peringatan
supaya dalam waktu tertentu memenuhi kewajibannya. Bila bank-bank tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka terhadap mereka akan dipertimbangkan untuk dicabut kembali izin usaha yang telah diberikan. 
    Ketika perkembangan moneter dalam keadaan yang sangat sulit dikendalikan, Bank Indonesia ditugaskan oleh Pemerintah melalui Dewan Moneter untuk membatasi \perkreditan bank-bank swasta. Di samping itu, Pemerintah mulai menerapkan kebijakan reserves requirement terhadap perbankan untuk mengendalikan uang beredar.
    Dengan dilakukannya nasionalisasi atas bank-bank Belanda, Bank Indonesia menjadi Wakil Ketua merangkap Anggota dari Badan Pengawasan Bank-Bank Pusat. Sedangkan Pemimpin Cabang Bank Indonesia menjadi Wakil Ketua Badan Pengawasan Bank-bank Daerah. Badan tersebut dibentuk untuk mencegah berlangsungnya rush pada bank-bank Belanda akibat tindakan pengambilalihan oleh Pemerintah Indonesia, untuk menyelamatkan cadangan devisa negara yang pada saat pengambilalihan ditahan di bank koresponden bank-bank tersebut serta untuk merumuskan aspek hukum pengambilalihan bank-bank tersebut.
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar