A. Pengertian Leasing (Sewa Guna Usaha) Leasing adalah segala kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal yang penggunaannya diserahkan pada suatu perusahaan, melalui pembayaran secara berkala dalam jangka waktu tertentu. Secara umum leasing artinya Equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan/barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung.Equipment Leasing Association di London memberikan definisi leasing sebagai berikut: “Leasing adalah perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa sesuatu atas barang modal tertentu yang dipilih/ditentukan oleh lessee.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 adalah ”kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Selanjutnya yang dimaksud finance lease adalah kegiatan sewa guna usaha dimana lessee pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa guna usaha berdasarkan nilai sisa yang disepakati. Sebaliknya operating lease tidak mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa guna usaha.”
B. Jenis-jenis Leasing : 1. Operating lease
Suatuoperasi lease tidak menyatakan adanya kewajiban jangka panjang baik bagi leesor maupun lessee dan biasanya boleh dibatalkan oleh pemilik atau pengguna aktiva setelah pemberitahuan ketetapan umum (memiliki hak opsi).
2. Service lease
Lease jenis ini,leeeor menyediakan baik pembiayaan maupun service atas aktiva-aktivaselama periade lease.
3. Financial lease
Merupakan suatu lease jangka panjang atas aktiva-aktiva tetap yang tidak boleh dibatalkanoleh kedua belah pihak.Sebagai sumber dana, financial lease pada dasarnya adalahsuatu jenis yang samadari alternative pembelanjaan utang jangka panjang.
* Direct finance lease : jika pihak lease pada waktu sebelumnya belum memiliki barang modal yang dijadikan obyek leasing tersebut.
* Sale and lease back : pihak lease yang sebelumnya memiliki barang modal tertentu, menjual barang tersebut kepada lessor.
C. Sumber dana leasing : * Modal disetor.
* Laba ditahan.
* Depresiasi.
* Lembaga keuangan dan perusahaan leasing khusus menyediakan dana untuk leasing.
D. Manfaat leasing : > Menghemat modal.
> Sangat luwes.
> Sebagai sumberdana.
> Menguntungkan cash flow.
> Menciptakan keuntungan dari pengaruh inflasi.
> Sarana kredit jangka menengah dan panjang.
> Dokumentasi sederhana.
E. Bentuk Sewa Guna ( Leasing ) antara lain : a. Sale and lease back
Dalam bentuk ini, perusahaan, menjual aktiva yang dimilikinya kepada perusahaan leasing dalam rangka untuk memperoleh cash money dan kemudian menyewanya kembali dari perusahaan leasing atas aktiva yang dijualnya tersebut.
b. Direct Leasing
Pada bentuk ini, perusahaan menyewa aktiva dari perusahaan leasing yang sebelumnya aktiva tersebut tidak dimilikinya.
c. Leveraged Leasing
Dalam bentuk ini, terdapat 3 pihak yang terlibat dalam leasing, antara lain : lessor, lessee, dan pemberi pinjaman. Artinya, dalam perolehan aktiva yang diperlukan oleh perusahaan selaku penyewa ( lessee ), pihak perusahaan leasing ( lessor ) melibatkan pihak ketiga ( pemberi pinjaman ) dalam rangka untuk membantu sebagian pembiayaannya.
F. Ketentuan Pendirian Leasing :
# Perusahaan Swasta Nasional (modal Rp. 3 milyar).
# Perusahaan patungan (Indonesia & Asing) (modal Rp. 10 milyar).
# Koperasi (Rp. 3 milyar).
G. Ciri-ciri Leasing :
1. Perjanjian antara Lessor dengan Lessee.
2. Berdasarkan perjanjian leasing, Lessor mengalihkan hak penggunaan barang kepadapihak Lessee.
3. Lessee membayar kepada Lessor uang sewa atas penggunaan barang atau asset.
4. Lessee mengembalikan barang atau asset tersebut kepada Lessor pada akhir periodeyang ditetapkan.
5. lebih dahulu dan jangka waktu kurang dari umur ekonomi barang tersebut.
H. Klasifikasi Leasing
1. Capital Lease
Perusahaan leasing pada jenis ini berlaku sebagai suatu lembaga keuangan. Lessee yang akan membutuhkan suatu barang modal menentukan sendiri jenis serta spesifikasi dari barang yang dibutuhkan.Lessee juga mengadakan negoisasi langsung dengan supplier mengenai harga, syarat-syarat perawatan serta hal-hal lain yang berhubungan dengan pengoperasian barang tersebut.
Lessor akan mengeluarkan dananya untuk membayar barang tersebut kepada supplier dan kemudian barang tersebut diserahkan kepada lessee. Sebagai imbalan atas jasa pengguanaan barang tersebut lessee akan membayar secara berkala kepada lessor sejumlah uang yang berupa rental untuk jangka waktu tertentu yang telah disepakati bersama.
2. Operating Lease
Pada operating lease, lessor membeli barang dan kemudian menyewakan kepada lessee untuk jangka waktu tertentu. Dalam praktik lessee membayar rental yang besarnya secara keseluruhan tidak meliputi harga barang serta biaya yang telah dikeluarkan oleh lessor.
Di dalam menentukan besarnya pembayaran lease, lessor tidak memperhitungkan biaya-biaya tersebut karena setelah masa lease berakhir diharapkan harga barang tersebut masih cukup tinggi. Di sini jelas tidak ditentukan adanya nilai sisa serta hak opsi bagi lessee.
3. Sales Type Lease
Lease penjualan biasanya dilakukan oleh perusahaan industri yang menjual lease barang hasil produksinya. Dalam kontrak penjualan lease diakui dua macam pendapatan yaitu pendapatan penjualan barang dan pendapatan bunga atas jasa pembelanjaan selama jangka waktu lease.
4. Leverage Lease
Pada leasing ini dilibatkan pihak ketiga yang disebut credit provider. Lessor tidak membiayai objek leasing hingga sebesar 100% dari harga barang melainkan hanya antara 20% hingga 40%. Kemudian sisa dari harga barang tersebut akan dibiayai oleh credit provider.
5. Cross Border Lease
Transaksi pada jenis ini merupakan suatu transaksi leasing yang dilakukan dengan melewati batas suatu negara. Barang-barang atau peralatan yang biasanya ditransaksikan dalam cross border lease meliputi nilai jutaan dollar Amerika Serikat. Seperti Pesawat terbang bermesin jet dari Pabrikan Boeing dan Airbus.
I. Kegiatan Leasing
Kegiatan usaha leasing baru diperkenalkan pada tahun 1974 dengan surat keputusan bersama Menteri keuangan, Menteri perindustrian, dan Menteri Perdagangan Nomor Kep.122/MK/IVi2/1974, Nomor 32/M/SK/2/1974, dan Nomor 301 Kpb/II74 tertanggal 7 januari 1974 tentang perizinan usaha Leasing. Selanjutnya, Menteri Keuangan mengeluarkan Surat Keputusan no.6491MKIIV/5/1974 tertanggal 6 Mei 1974 yang mengatur mengenai ketentuan tata cara perizinan dan kegiatan usaha leasing di Indonesia. Untuk mendukung perkembangannya, Menteri keuangan mengeluarkan surat keputusan Nomor 650/MK/IV/511974 tertanggal 6 Mei 1974 tentang penegasan ketentuan Pajak Penjualan dan besarnya Bea Materai terhadap Usaha Leasing.
Dengan dikeluarkannya kebijaksanaan deregulasi 20 Desember 1988 atau disebut Pakdes 20 1998 kegiatan usaha Leasing termasuk dalam perusahaan pembiayaan. Di samping itu, Keppres Nomor 61 tahun1988 dan keputusan menteri keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 merupakan bagian dari Pakdes 88 dimana lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Ketentuan minimum modal disetor untuk pendirian suatu perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha leasing diatur dalam Pakdes 20 tahun 1988 dengan keputusan dengan keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 dan didalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tanggal 21 november 1991, kegiatan leasing dapat dilakukan dengan cara, yaitu :
1. Melakukan sewa guna usaha dengan hak opsi bagi lessee (finance lease).
Kriteria untuk finance lease apabila suatu perusahaan leasing memenuhi persyaratan sebagai berikut :jumlah pembayaran sewa guna usaha dan selama masa sewa guna usaha pertama kali, ditambah dengan nilai sisa barang yang dilease harus dapat menutupi harga perolehan barang modal yang dileasekan dan keuntungan bagi pihak lessor dalam perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan mengenai hak opsi bagi lessee
2. Melakukan sewa guna usaha dengan tanpa hak opsi bagi lessee (operating lease).
a. Jumlah pembayaran selama masa leasing pertama tidak dapat menutupi hrga perolehan barang modal yang dileasekan ditambah keuntungan bagi pihak lessor;
b. Didalam perjanjian leasing tidak memuat mengenai hak opsi bagi lessee
J. Pihak-Pihak Yang Terlibat
Dalam leasing ada beberapa pihak-pihak yang terlibat, yaitu pemilik / penyedia aktiva dan pemakai aktiva, di antaranya :
1. Lessor, yaitu perusahaan sewa guna atau pihak yang memberikan jasa pembiayaan kepada pihak Lessee dalam bentuk penyediaan barang modal
2. Lessee, yaitu perusahaan atau pihak yang memperoleh pembiayaan dalam bentuk barang modal dari pihak Lessor
3. Supplier, yaitu perusahaan yang mengadakan atau menyediakan barang untuk dijual kepada Lessee dengan pembayara secara tunai oleh Lessor
4. Kreditur, Pihak kreditur dalam transaksi sewa guna biasanya adalah bank yang memegang peranan dalam hal penyediaan dana kepada lessor. Kreditur atau pihak bank juga dapat memberikan kredit kepada pihak supplier untuk pembelian barang-barang modal yang kemudian akan di jual sebagai objek sewa guna kepada Lessee atau Lessor.
K. Prosedur Mekanisme Lleasing
Dalam melakukan perjanjian leasing terdapat prosedur dan mekanisme yang harus dijalankan yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Lessee bebas memilih dan menentukan peralatan yang dibutuhkan, mengadakan penawaran harga dan menunjuk supplier peralatan yang dimaksudkan.
2. Setelah lessee mengisi formulir permohonan lease, maka dikirimkan kepada lessor disertai dokumen lengkap.
3. Lessor mengevaluasi kelayakan kredit dan memutuskan untuk memberikan fasilitas lease dengan syarat dan kondisi yang disetujui lessee (lama kontrak pembayaran sewa lease), setelah ini maka kontrak lease dapat ditandatangani.
4. Pada saat yang sama, lessee dapat menandatangani kontrak asuransi untuk peralatan yang dilease dangan perusahaan asuransi yang disetujui lessor, seperti yang tercantum dalam kontrak lease. Antara lessor dan perusahaan asuransi terjalin perjanjian kontrak utama.
5. Kontrak pembelian peralatan akan ditandatangani lessor dengan supplier peralatan tersebut.
6. Supplier dapat mengirimkan peralatan yang dilease ke lokasi lessee. Untuk mempertahankan dan memelihara kondisi peralatan tersebut, supplier akan menandatangani perjanjian purna jual.
7. Lessee menandatangani tanda terima peralatan dan menyerahkan kepada suppplier.Supplier menyerahkan tanda terima (yang diterima dari lessee), bukti pemilikan dan pemindahan pemilikan kepada lessor.
8. Lessor membayar harga peralatan yang dilease kepada supplier.
9. Lessee membayar sewa lease secara periodik sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah ditentukan dalam kontrak lease.
L. Keunggulan Leasing
Ada beberapa keunggulan yang diperoleh perusahaan dengan melakukan sewa guna dalam operasi usahanya, antara lain :
1. Transaksi sewa guna dapat dilakukan tanpa harus adanya uang muka, hal ini dapat membantu aliran kas bagi perusahaan-perusahaan lessee yang baru berdiri dan belum memiliki kondisi finansial yang solid.
2. Dibandingkan pembiayaan melalui kredit perbankan, pembiayaan sewa guna lebih fleksibel kerena lebih dapat menyesuaikan dengan kondisi keuangan pihak lessee.
3. Sewa guna merupakan salah satu bentuk pembiayaan yang bersifat off balance sheet, yang berarti bahwa transaksi sewa guna tidak tercantum sebagai komponen utang pada neraca perusahaan lessee, sehingga berdampak positif pada rasio keuangan perusahaan tersebut.
4. Salah satu jenis transaksi sewa guna, yaitu operating lease yang berjangka waktu singkat, dapat mengatasi resiko keuangan yang dihadapi pihak lessee.
5. Pembayaran sewa secara periodik dengan jumlah tetap memberikan kemudahan bagi pihak lessee dalam penyusunan anggaran tahunan.
M. Aspek Perpajakan Yang Berkaitan Dengan Leasing. 1. Pajak Penghasilan (PPh)
Berdasarkan Undang-undang no 17 tahun 2000 dan surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1169/KMK.01/1991 Pasal 16 ayat 2 menyatakan: “Lessee tidak memotong pajak penghasilan pasal 23 atas pembayaran sewa guna usaha yang dibayar atau terutang berdasarkan perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi”. Dalam pasal tersebut dengan jelas menyatakan bahwa angsuran-angsuran atau pembayaran yang diterima lessor dari lessee untuk jenis transaksi finance lease tidak dikenakan pemotongan pajak penghasilan.
Pasal 17 ayat 2 menyatakan:
a. Pembayaran sewa guna usaha tanpa hak opsi yang dibayar atau terutang oleh lessee adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
b. Lessee wajib memotong pajak penghasilan pasal 23 atas pembayaran sewa guna usaha tanpa hak opsi yang dibayarkan atau terutang kepada lessor.
Pasal 17 ayat 2a mengatur tentang perlakuan pembayaran leasing oleh lessee. Di sini dijelaskan bahwa pembayaran leasing dari lessee kepada lessor untuk transaksi operational lease diperlukan pemotongan pajak penghasilan pasal 23 karena menurut pajak diperlakukan sebagi sewa-menyewa biasa.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
A. Perlakuan PPN atas transaksi capital lease:
1. Berdasarkan ketentuan pasal 13 Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 1994 huruf d dan e, Pengumuman Direktur Jenderal Pajak No. Peng- 139/PJ.63/1989 dan Pasal 1 angka 4 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep05/PJ/1994, penyerahan jasa dalam transaksi capital lease dari lessor kepada lessee adalah penyerahan jasa yang terutang PPN, karena lessor sebagai perusahaan jasa persewaan barang dengan demikian adalah pengusaha kena pajak.
2. Pengalihan barang dalam transaksi operating lease bukan merupakan penyerahan barang kena pajak karena pengalihan barang tersebut adalah dalam rangka persewaan biasa.
3. Besarnya PPN yang terutang adalah 10% dari Nilai Penggantian.
4. PPN sebagaimana dimaksud dalam angka 3) merupakan PPN Keluaran bagi lessor dan merupakan PPN Masukan bagi lessee dalam hal lessee adalah Pengusaha Kena Pajak. PPN yang dibayar atas perolehan barang kena pajak (BKP) yang dilease merupakan PPN Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan PPN Pajak Keluaran lessor.
B. Dalam hal transaksi sale and lease back tanpa hak opsi, PPN masukan atas perolehan barang tidak boleh dikreditkan oleh lessee. Dalam hal lessee kemudian melease kembali barang tersebut, maka lessor harus mengenakan PPN yang terutang atas jasa persewaan barang yang dilakukan.
Lease : Suatu kontrak sewa atas penggunaan harta untuk suatu periode tertentu dengan sewa tertentu.
Lessee : Pemakai aktiva yang akan di lease. Perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari pihak perusahaan leasing.
Lessor : Pemilik dari aktiva yang akan di lease.
Lease term: Jangka waktu lease yang tetap dan tidak dapat dibatalkan, termasuk:
a. Periode yang mencakup hak opsi untuk memperbarui kontrak leasing.
b. Periode yang mencakup digunakannya hak opsi untuk membeli aktiva yang dilease.
c. Periode dimana lessor mempunyai hak untuk memperbarui atau memperpanjang masa lease.
d. Periode dimana denda dikenakan bagi lessee atas kegagalannya untuk memperbarui lease dan jumlah denda tersebut dijamin pada permulaan lease.
e. Periode yang mencakup hak opsi pembaruan yang biasa yaitu diberikan jaminan oleh lessee atas utang lessor yang mungkin terjadi.
N. Perkembangan Leasing diIndonesia1. Sejarah Leasing
Kehadiran industri pembiayaan (multi finance) di Indonesia sesungguhnya belumlah terlalu lama, terutama bila dibandingkan dengan di negara-negara maju. Dari beberapa sumber, diketahui industri ini mulai tumbuh di Indonesia pada 1974. Kelahirannya didasarkan pada surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan. Setahun setelah dikeluarkannya SKB tersebut, berdirilah PT Pembangunan Armada Niaga Nasional pada 1975. Kelak, perusahaan tersebut mengganti namanya menjadi PT (Persero) PANN Multi Finance. Kemudian, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No.61/1988, yang ditindaklanjuti dengan SK Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988, pemerintah membuka lebih luas lagi bagi bisnis pembiayaan, dengan cakupan kegiatan meliputi leasing, factoring, consumer finance, modal ventura dan kartu kredit.
Sebagai sesama industri keuangan, perkembangan industri leasing relatif tertinggal dibandingkan yang lain, perbankan, misalnya. Terlebih lagi bila dibandingkan dengan perbankan pasca Pakto 1988. Pada era inilah bank muncul dan menjamur bagai musim hujan. Deregulasi yang digulirkan pemerintah di bidang perbankan telah membuahkan banyak sekali bank, walaupun dalam skala gurem. tetapi banyak kalangan menuding, justru Pakto 88 inilah menjadi biang keladi suramnya industri perbankan di kemudian hari. Puncaknya, terjadi pada 1996 ketika pemerintah melikuidasi 16 bank. Langkah itu ternyata masih diikuti dengan dimasukkannya beberapa bank lain dalam perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional(BPPN).
Meski demikian, perusahaan pembiayaan juga mampu berkembang cukup mengesankan. Hingga saat ini leasing di Indonesia telah ikut berkiprah dalam pembiayaan perusahaan. Jenis barang yang dibiayai pun terus meningkat. Jika sebelumnya hanya terfokus pada pembiayaan transportasi, kini berkembang pada keperluan kantor, manufaktur, konstruksi dan pertanian. Hal ini mengindikasikan multi finance kian dikenal pelaku usaha nasional.
Ada beberapa hal menarik jika kita mencermati konsentrasi dan perkembangan perusahaan leasing. Pada era 1989, misalnya, industri ini di Indonesia cenderung berupaya memperbesar asset. perburuan asset tersebut diantaranya disebabkan tantangan perekonomian menuntut mereka tampil lebih besar, sehat dan kuat. Perusahaan yang tidak beranjak dari skala semula, tampak terguncang-guncang dana akhirnya tutup sama sekali.
Dengan asset dan skala usaha yang besar, muncul anggapan perusahaan lebih andal dibandingkan yang lain. Bagi yang kapasitasnya memang terbatas, mereka berupaya agar tetap tampil megah dan gagah. Maka, dimulailah saling lirik dan penjajakan di antara sesamanya. Skenario selanjutnya, banyak perusahaan leasing yang melakukan penggabungan menjadi satu grup. Tampaknya, langkah ini membuahkan hasil positif. Selain modal dan asset menggelembung, kredibilitas dan penguasaan pasar pun ikut terdongkrak.
Namun gairah menggelembungkan asset tersebut berangsur-angsur mulai pudar. Karena pada tahun berikutnya (1990), industri leasing mulai kembali pada prinsip dasar ekonomi. mereka lebih mengutamakan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Sebetulnya, berubahnya orientasi ini dipicu oleh kian sengitnya persaingan di industri leasing. Akibatnya, kehati-hatian menjadi agak terabaikan. Indikasinya, persyaratan untuk memperoleh sewa guna usaha menjadi semakin longgar. Bahkan, kabarnya di Bengkulu, orang bisa mendapatkan sewa guna usaha hanya dengan menyerahkan selembar kartu tanda penduduk (KTP).
Pada tahun 1991, kembali terjadi perubahan besar-besaran pada perusahaan pembiayaan. Seiring dengan kebijakan uang ketat (TMP = tight money policy) – yang lebih dikenal dengan Gebrakan Sumarlin I dan II – suku bunga pun ikut meroket naik. Akibatnya, banyak kredit yang sudah disetujui terpaksa ditunda pencairannya.
Dari sisi permodalan, TMP membuat perusahaan multi finance seperti kehabisan darah. Aliran dana menjadi seret. kalaupun ada, harganya tinggi sekali. Itulah sebabnya banyak di antara mereka yang menggabungkan usahanya. Dengan bergabung, mereka lebih mudah dalam memperoleh kredit, termasuk dari luar negeri.
2. Asosiasi Leasing
Sebetulnya, organisasi ini punya nama lain, seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 Anggaran dasar (AD)-nya, yaitu Asosiasi Lembaga Pembiayaan Indonesia (APLI). Tetapi agaknya nama yang pertama lebih dikenal para pelakunya dan masyarakat luas.
ALI didirikan sebagai satu-satunya wadah komunikasi bagi perusahaan-perusahaan pembiayaan. Di sini mereka secara bersama-sama membicarakan dan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. ALI juga hadir untuk memperjuangkan kepentingan anggotanya kepada pemerintah. Di sisi lain, organisasi ini juga bermaksud menjadi jembatan untuk meneruskan keinginan dan bimbingan pemerintah kepada para anggota.
Sederet sasaran ideal menjadi tujuan didirikannya ALI. Paling tidak, pasal 6 AD-nya menyebutkan lima tujuan utama organisasi ini. Di antaranya memajukan dan mengembangkan peranan lembaga pembiayaan di Indonesia serta memberikan sumbangsih bagi kemajuan perekonomian nasional.
Dalam perjalanan sejarahnya, ALI mengalami pasang naik dan pasang surut. Para pengurus yang silih-berganti berupaya memberikan yang terbaik guna pemecahan, kemajuan dan perkembangannya. Sejak didirikan, tercatat sudah 12 kali terjadi pergantian kepengurusan. Sebetulnya, periodisasi kepengurusan ditetapkan tiap dua tahun. Namun dalam beberapa kasus, terjadi pergantian kepengurusan sebelum masa jabatan berakhir.
3. Dari ALI ke APPI
Pada awalnya, tepatnya tanggal 2 Juli 1982 telah dibentuk Asosiasi Leasing Indonesia (ALI) yang berkedudukan di Jakarta sebagai satu-satunya wadah komunikasi bagi perusahaan-perusahaan leasing di Indonesia. Kehadiran ALI telah dirasakan manfaatnya oleh seluruh pelaku usaha leasing di Indonesia dan ALI telah berhasil melakukan berbagai aktivitas guna kepentingan para anggotanya, termasuk membantu pengembangan industri usaha leasing di Indonesia bersamapemerintah.
Seiring dengan pertumbuhan sektor usaha jasa pembiayaan dan guna menampung aspirasi seluruh anggota maka pada tanggal 20 Juli 2000 telah diambil keputusan untuk mengubah ALI menjadi ASOSIASI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INDONESIA(APPI).
Keputusan diatas sejalan dengan keberadaan usaha para anggota sebagai perusahaan pembiayaan yang dapat melakukan aktivitas usaha: sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring), pembiayaan konsumen (consumer finance), dan kartu kredit (credit card). Dalam perkembangannya pada tanggal 21 Desember 2000 Asosiasi Factoring Indonesia (AFI) juga telah bergabung ke dalam APPI. Sesuai dengan tujuan didirikannya, APPI bersama pemerintah terus berupaya memberikan andil dan peran lebih berarti dalam peningkatan perekonomian nasional khususnya pada sektor usaha jasa pembiayaan.
O. Keputusan Membeli atau Leasing Dari sudut pandang lessee, keputusan untuk membeli dengan dana dari hutang atauleasing suatu aktiva diambil setelah melakukan analisa sebagai berikut :
Langkah 1 : Menghitung NPV (Net Present Value) aktiva.
NPV dihitung dengan mempresent-valuekan seluruh arus kas masuk kemudian diselisihkan dengan present value arus kas keluar. Pada perhitungan NPV, kita gunakan biaya modal sebagai tingkat diskonto.
n CIFt – COF
NPV = ∑
t=1 (1+k)t
Dimana : CIFt = Cash Inflow pada waktu t yang dihasilkan proyek
K = Biaya Modal
COF = Initial Cash Outflow ( diasumsikan terjadi sekarang )
N = Usia Proyek
Langkah 2 : Menghitung NAL (Net Advantage to Leasing).
NAL adalah penghematan biaya yang timbulkarena kita memilih alternative leasing daripada membeli active tersebut.
n Ot (1-T) – Rt (1-t) – T.Dt – Vn (1-T) + COF
NPV = ∑
t=1 (1 + Rb) t (1 + Rb) n
Dimana :
Ot = Operating Cash Outflow pada waktu yang terjadi hanya jika aktiva dibeli (tidak leasing). Biasanya terdiri dari Biaya Perawatan dan Asuransi yang pada kontrak lease akan dibayarkan oleh lessor.
Rt = Leasing payment tahunan pada waktu t.
T = Tingkat pajak pada penghasilan perusahaan.
Dt = Biaya depresiasi aktiva pada waktu t.
Vn = Nilai sisa setelah pajak (Salvage Value After Tax) pada waktu n.
COF = Harga pembelian aktiva, yang tidak dibayar lesse jika ia mengeluarkan leasing
Rb = Biaya hutang setelah pajak.
Rb = kd ( 1-T ) kd = biaya hutang sebelum pajak.
Langkah 3 : Membuat keputusan.
Dimana :
Jika NPV > 0 dan NAL > 0, maka Aktiva dapat diperoleh melalui LEASING.
Jika NPV > 0, namun NAL < 0, maka Aktiva dapat diperoleh dengan cara MEMBELI.
Jika NPV < 0 dan NAL > 0, jangan dulu menolak aktiva tersebut sebab akan timbul :
o NPV + NAL > 0 , maka aktiva dapat diterima tapi harus diperoleh dengan cara LEASING.
o NPV + NAL < 0 , maka Aktiva atau Proyek harus ditolak.
Jika NPV < 0 dan NAL < 0, maka Aktiva atau proyek tersebut DITOLAK. Soal