Minggu, 25 Maret 2012

Penegakan Hukum di Indonesia

      Hukum adalah sistem peraturan yang dibuat oleh negara sesuai dengan undang-undang baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tata tertib dalam masyarakat dan terhadap pelanggaran yang umumnya dikenakan sanksi.
Ciri-ciri hukum:Ada unsur perintah , larangan, dan sanksi yang tegas.

Unsur-unsur hukum:
  • Peratuaran tingkah laku.
  • Peraturan di adakan oleh badan resmi.
  • Peraturan bersifat memaksa.
  • Sanksi tegas bagi pelanggarnya.
fungsi hukum adalah peran yang dimiliki dan harus di laksanakan oleh hokum :
  • Menertibkan masyarakat dan mengatur pergaulan hidup.
  • Menyelsaikan pertikaian.
  • Memelihara dan mempertahankan ketertiban dan aturan-aturan , tidak perlu dengan kekerasan.
  • Mengubah tata tertib dan aturan sesuai kebutuhan masyarakat.
  • Memenuhi keadilan dan kepastian hukum.
  • Sebagai alat kritik atau fungsi kritik mengawasi masyarakat dan pejabat.
Tujuan dari hukum adalah untuk mengadakan keselamatan, kebahagiaan, ketertiban, dan sejahtera dalam kehidupan masyarakat.
Peranan hukum adalah sebagai berikut: 
  • Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan.
  • Hukum sebagai sarana pembangunan.
  • Hukum sebagai sarana penegak keadilan.
  • Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat                                                       
Sejarah Hukum di Indonesia
  • Periode Kolonialisme
  • Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal
  • Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
  • Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
1.    Periode Kolonialisme
        Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
a.    Periode VOC
Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
Kendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
        Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.
b.    Periode liberal Belanda
        Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.
c.    Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
        Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: 1) Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum; 2) Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi; 3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi; 4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas; 5) Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan: 1) Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan; 2) Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur AsingTionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi: 1) Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina; 2) Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah: 1)Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan; 2) Unifikasi kejaksaan; 3) Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan; 4) Pembentukan lembaga pendidikan hukum; 5) Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.
2.    Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal
a.    Periode Revolusi Fisik
        Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi: 
  1. Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan; 
  2. Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
b.    Periode Demokrasi Liberal
        UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.
3.    Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
a.    Periode Demokrasi Terpimpin
        Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah: 
  1. Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan dibawah lembaga eksekutif; 
  2. Mengganti lambang hukum dewi keadilan menjadi pohon beringin yang berarti pengayoman;
  3. Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965; 
  4. Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.
b.    Periode Orde Baru
        Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 
  1. Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 
  2. Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.
4.    Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
        Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:
  • Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan;
  • Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan
  • Pembaruan sistem ekonomi.
        Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.
        Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak.
        Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, seringkali bersifat diskriminatif memihak kepada yang kuat dan berkuasa.
        Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Soeharto pada tahun 1998, masyarakat yang  tertindas oleh hukum bergerak mencari keadilan yang seharusnya mereka peroleh sejak dahulu. Namun kadang usaha mereka dilakukan tidak melalui jalur  hukum. Misalnya penyerobotan tanah di Tapos dan di daerah-daerah persengketaan tanah yang lain, konflik perburuhan yang mengakibatkan perusakan di sejumlah pabrik, dan sebagainya.
         Pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai alat penyelesaian konflik dirasakan perlunya untuk mewujudkan ketertiban masyarakat Indonesia, yang oleh karena euphoria “reformasi” menjadi tidak terkendali dan  cenderung menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.
        Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, penegakan hukum, kekuasaan hukum, maupun perlindungan hukum . Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya penegakan hukum oleh aparat.  Penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut (pejabat, orang kaya, dan sebagainya).
        Penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar.  Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one  di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi.
Contoh peristiwa  klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas kakap dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar